Hari itu aku pergi tamasya, suasana ramai tak karuan, anak kecil berlarian kesana kemari, barisan alay berteriak nyebahi bak sedang dilatih militer oleh Kim Jong Eun. Sebenarnya aku kurang suka menghadapi ini semua,  rasanya males berada di tengah keramaian, rasanya pengen dari jauh aja melihat aktivitas mereka, sambil senyum-senyum bawa sniper trus ditembak in satu-satu *eh. *maaf OOT. Saat berada di keramaian sering aku berfikir tentang mereka yang aku lihat, tentang gerak-gerik mereka, gaya bicara, cara berpakaian, dan lain-lain. Seringnya dari situ muncul teori-teori baru dari pikiran ku, dari hipotesa-hipotesa alam bawah sadar ku yang sering kali menemukan sinar di balik suatu sistim kompleks yang sering membuat dahi berkerut dan biasa disebut hidup.

Sebelum melanjutkan perjalanan tulisan ini, coba anda semua bayangkan sedang di areal pemancingan yang penuh dengan pengunjung dari berbagai kalangan, beberapa diantara mereka ialah ABG alay dan beberapa keluarga dengan mertua dan menantu mereka.

Kasus pertama, mari kita lihat barisan alay, hari itu alay di tempat pemancingan yang penuh dengan pengunjung itu heboh dengan perkumpulan mereka. Seperti tak melihat kumpulan orang-orang disekitarnya suka atau tidak dengan kelakuan mereka. Mulai dari bicara sampe tertawa, sampai akhirnya mereka saling tarik menarik untuk menceburkan beberapa alay yang terpilih untuk diceburkan ke kolam renang di tengah-tengah areal pemancingan itu. Teriakkan salah satu dari mereka mulai terdengan begitu keras, layaknya ABG tak berdaya yang dianiyaya beberapa pemabuk, adegan tolak menolak dan tarik menarik pun menjadi pusat perhatian semua orang, akhirnya ada yang berhasil diceburkan, dan dia yang tadi teriak-teriak heboh menolak, sekarang hanya senyum-senyum bangga udah lulus ritual itu. Aneh. Satu hal yang bisa kutangkap dari mereka semua, dua hal yang pasti, rasa ikhlas dan rasa bangga menghinggapi mereka secara menyeluruh.

Kasus kedua, barisan yang lebih kalem, barisan keluarga dewasa yang berisi pasangan suami istri, beserta anak-anak mereka yang masih balita, tak lupa juga para mertua ikut di dalam kelompok mereka. Mari kita perhatikan pihak suami dalam posisi mereka sebagai menantu, dan sisi ibu, sebagai seorang mertua. Sang menantu disitu akan memposisikan diri mereka sebagai orang yang serba bisa, tak terlihat dari diri mereka rasa ragu-ragu dalam menjalani momen-momen kebersamaan itu, mulai dari booking tempat, pesan makanan, dan semua kesibukan lainnya disitu hanya demi rombongan dia mendapatkan kenyamanan sederhana di tengah-tengah hiruk pikuk dunia waktu itu. Ada hal yang sama dengan para alay yang kutangkap dari para menantu, iya, ikhlas dan bangga. Mereka ikhlas melakukan semuanya dan bangga bisa menggurat senyum diwajah mertua mereka masing-masing.

Ikhlas dan bangga memegang peran penting dalam perputaran kehidupan tempat itu, jika alay tak ikhlas jadi alay, maka merekapun tak akan bangga teriak-teriak tak tentu arah hanya untuk nyebur kolam renang. Jika para menantu tak ikhlas membersamai keluarga istri mereka, mereka juga tak akan bangga berada di tempat itu, dan tak akan ada mood positif diantara mereka.

ikhlas

Secara tidak langgsung, sangat besar efek dari rasa ikhlas dan bangga tersebut, aku mulai berfikir untuk mempraktekannya, tak hanya terus menuruti ego sendiri untuk merasa bahagia. Dan mungkin saja dengan mempraktekan sikap-sikap tersebut, proses bersosialisasi akan lebih nyaman dan membahagiakan, dan tak akan ada lagi rasa sepi diantara keramaian.

Tamat.