Novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari mengisahkan tentang insinyur bernama Kabul yang menjadi kepala pelaksana mega-proyek pembangunan jembatan. Novel ini menggambarkan kehidupan di areal proyek dan sekitarnya. Mulai dari lika-liku Kabul dengan manajer proyek, hubungan Kabul dengan Wati si admin proyek, keseruan para mandor, tukang, peladen, keramaian Warung Tegal (Warteg) yang dibangun dekat areal proyek, sosialisasi dengan warga sekitar proyek, hingga politik-politik yang memperumit perjalanan proyek. Nah, inilah resensi novel Ahmad Tohari.

Orang-orang Proyek merupakan karya ke-11 Ahmad Tohari. Novel ini pertama terbit pada 2002. Ceritanya memakai latar di Indonesia dengan beberapa nama kota atau daerah disamarkan, namun ada juga yang asli.

Ceritanya mengangkat latar waktu 1990-an di masa orde baru sedang giat-giatnya melakukan pembangunan di segala lini. Meski disamarkan, buku ini membahas tentang sosok partai penguasa yang menggunakan kekuasaan untuk memuluskan semua agenda, tak peduli rakyat kecil menjadi korbannya.

Novel ini menggambarkan terjadinya korupsi hampir di segala lini. Pembaca diajak melihat dunia kerja yang sangat kejam. Para pejabat pemangku kebijakan dengan senang hati dan bangga mencurangi sistem dan menggerogoti uang rakyat.

Resensi novel Ahmad Tohari

Teman-teman bisa mendapatkan buku Orang-Orang Proyek dengan diskon menarik melalui tautan ini Diskon Novel Orang-Orang Proyek

Di tengah-tengah carut marutnya sistem dan merajalelanya korupsi, ada tokoh bernama Kabul yang secara tegas dan konsisten menolak korupsi. Kabul hidup dengan menjunjung tinggi ilmu dan kejujuran. Kabul berusaha sekuat kemampuannya untuk melakukan tugasnya sesuai aturan. Dia dikelilingi oleh oknum-oknum yang lebih memikirkan perut pribadi daripada kepentingan rakyat. Tak jarang, karena idealismenya, Kabul tertimpa masalah, bahkan sampai mengancam masa depannya sebagai warga negara.

Di novel ini Kabul tak sendirian, ada beberapa karakter yang juga digambarkan memiliki idealisme menentang penguasa korup. Meski demikian, hampir kesemuanya berakhir kalah dan pasrah dengan sistem. Mereka tak bisa berbuat banyak. Hanya Kabul yang diposisikan mampu dan mau menentang sekuat tenaganya.

Meski berlatar tahun 1990-an, apa yang dihadapi Kabul dan tokoh-tokoh dalam novel masih relevan sampai sekarang. Meski sudah banyak kampanye antikorupsi, antipungli, dan kampanye antikecurangan lainnya, tak bisa dipungkiri hal-hal curang masih banyak terjadi. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) masih terus melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Belum lama ini ada OTT yang menangkap hampir seluruh anggota DPRD di salah satu daerah di negeri ini.

Di novel ini Ahmad Tohari memasukkan unsur-unsur orde baru seperti KTP eks tahanan politik yang ditandai. Bagaimana warga yang memiliki KTP bertanda itu menjalani hidup dengan was-was dan gampang diperas demi kepentingan partai penguasa. Selain itu, penulis kelahiran Banyumas, Jawa Tengah itu juga memasukan unsur religi yang menurut saya sangat mengena dengan cerita novelnya.

Awal-awal membaca novel ini saya langsung relate, saya seolah-olah mengalami apa yang dialami Kabul. Akan tetapi saya tak sekuat dan selurus Kabul dalam mempertahankan idealisme. Perasaan itu kemudian berubah menjadi kemarahan, karena apa yang diceritakan di novel sungguh-sungguh terjadi.

Seperti teori mimesis, sastra memang cermin kehidupan. Tiruan perilaku atau peristiwa antarmanusia.

Novel ini menguji hati kita sebagai manusia berakal dan berhati nurani. Mengenai bagaimana kita akan bersikap dalam menjalani hidup. Ceritanya cukup seru untuk membawa pembaca bertamasya ke sebuah desa lengkap dengan interaksinya.

Kata Kunci yang Kecantol:

  • https://rizalfikry com/resensi-novel-ahmad-tohari-orang-orang-proyek/