Ditunggu-tunggu sejak tahun lalu, akhirnya Netflix ngerilis juga The Defenders. Avengers-type serial ini bisa disebut sebagai kulminasi dari petualangan superhero yang berdomisili di New York
Ceritanya berawal dari Daredevil, Jessica Jones, Luke Cage, Iron Fist, dan yang terbaru The Defenders.
Bagi kamu yang belum nonton serial-serial tersebut di atas pastinya feel-nya ga dapet meskipun masih bisa ngikutin ceritanya.
Salah satu hal favorit yang ada di serial superhero Netflix-Marvel ini adalah ceritanya dikemas lebih down to earth. Meski kekuatan para tokohnya tetap impractical, konflik di dalamnya nyata banget.
Contohnya, Daredevil season 1, kira-kira sampai setengah musim lebih Matt Murdock The Devil of Hell’s Kitchen itu selalu babak belur dihajar musuhnya. Di Jessica Jones season 1 si Jessica ga kayak superhero, lebih mirip kayak damsel in distress.
Intinya, ceritanya itu lebih realistis, dibangun dari ketiadaan, perlahan hingga klimaks. Nontonnya ga kayak nonton Power Rangers zaman SD dulu.
The Defenders ini menjadi titik puncak di mana empat superheroes melawan musuh utama yang secara samar sudah muncul di Daredevil season 1 [rilis April 2015].
Nah, sistem shared universe di mana cerita antar-series bisa nyambung ini merupakan nilai jual utama [at least IMHO].
Dengan cerita yang sudah dibangun dengan empat series sebelumnya The Defenders jadi kayak finishing. Tinggal nendang bola ke gawang aja kalau bahasa anak bola.
Di sini saya ga bakal mbahas cerita serialnya. Saya lebih ingin menyoroti pattern cerita yang dibangun Marvel.
Berkaca dari Marvel Cinematic Universe (MCU), sejauh apapun ceritanya dikembangkan atau dilebarkan. Intinya tetap bakal jadi cerita tentang satu tokoh terfavorit. Di MCU so far masih miliknya Iron Man. Menurut gue sih gitu.
Coba deh dicermati Avengers, Avengers: Age of Ultron kalau disimpulkan kan Iron Man jadi tokoh paling dominan. Belum lagi di Captain America: Civil War, screen time-nya Tony Stark cuman kalah sama Steve Rogers. Belum lagi Spider-Man: Homecoming, Marvel kelihatan banget ngejual popularitas Iron Man biar reboot si Manusia laba-laba ikut terdongkrak.
Nah, hal itu juga muncul di The Defenders. Kesuksesan Daredevil membuat Netflix -Marvel merilis season 2 lebih dulu dari tokoh lainnya. Setelah fix resepsi menonton positif, tokoh-tokoh lain dibuatkan serial hingga akhirnya muncul inisiasi The Defenders.
Sebelum nonton serialnya saya tetap membayangkan The Defenders bakal menjadi tempat unjuk gigi empat superheros secara seimbang. Ternyata bayangan saya salah, si Daredevil dijadikan pusat cerita dan of course superhero paling dominan.
Mulai dari tokoh-tokoh pendukung di Daredevil yang lebih banyak muncul lagi, hingga porsi aksi yang terkesan lebih banyak untuk si Devil of Hell’s Kitchen.
Kesannya jadi kayak pas nonton Avengers pertama kali. “Ini film diberi judul Iron Man 3 juga bisa,” ucapku membatin. The Defenders secara umum cocok kalau disebut sebagai Daredevil season 3. Buat kalian yang udah nonton dan udah tau ending-nya pasti setuju sama ane.
The Defenders itu bisa disebut Daredevil season 3. Saya nulis kayak gini ini bukan mau nyacat Serialnya lho ya. Saya cuman heran dan penasaran aja. Ini formula emang pattern yang udah fix apa kebetulan belaka ya?
Gimana? Ada yang tahu? Apa malah ikut penasaran?
Maaf ye kalo waktu kalian terbuang sia-sia baca ni tulisan ga jelas.