SITI, judul film Indonesia yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan oleh Netizen dan penggemar film Indonesia. Film ini menjadi perbincangan nasional dan masuk pasar film mainstream Indonesia setelah film ini dinobatkan sebagai Film Terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia 2015, November tahun lalu.
Film arahan sutradara Eddie Cahyono ini sebenarnya pertama kali diputar untuk publik pada tanggal 11 Desember 2014, dalam ajang Singapore International Film Festival. Hal itu sekaligus menandai premier internasional film SITI. Setelah itu, sepanjang tahun 2015, SITI melalang buana dari festival-festival di Asia, Eropa, hingga Amerika. Sebuah capaian yang tentunya luar biasa. Dari berbagai prestasi tersebut, hingga akhirnya mendapat Film Terbaik FFI 2015, film independen yang diproduseri Ifa Isfansyah ini akhirnya rilis di bioskop 28 Januari lalu.
Secara umum, saya suka model film seperti SITI, film ini menampilkan sebuah cerita dengan jujur. Membangun sebuah cerita dari konflik yang tak banyak disentuh sineas film lain. SITI menggambarkan secara sederhana sisi kompleks kehidupan ini. Konflik finansial yang dirasakan hampir semua lini masyarakat digambarkan secara sederhana namun sangat jelas. Film ini secara apik menggambarkan batas-batas antara yang tabu dan yang sah di mata masyarakat. Hingga membuat saya percaya bahwa kalimat ‘Dia menjadi pelacur karena tak punya pilihan lain’ itu benar-benar kalimat yang riil, nyata dan tak hanya bualan yang sering muncul di sinetron-sinetron.
Saya tak bilang film SITI tentang pelacuran lho ya, karena memang bukan! Kalimat itu hanyalah percontohan saja. Dalam kalimat lain, bangunan cerita film SITI membuat saya percaya hubungan sebab akibat yang ditimbulkan ceritanya.
Secara umum, SITI mengisahkan tentang Siti (Sekar Sari), seorang istri dan ibu dari putra kecilnya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Siti harus membanting tulang untuk keperluan keluarga sejak suaminya lumpuh dalam kecelakaan di pantai. Hutang-hutang pun menumpuk karena saat masih sehat sang suami berhutang demi membuat perahu. Demi membayar hutang sang suami, Siti bekerja siang dan malam, saat siang hari dia menjual peyek jingking di areal pantai Parang tritis, kemudian di malam hari dia menjadi pemandu karaoke di tempat karaoke sekitar pantai.
Akting Sekar Sari menjadi Siti patut diacungi jempol. Tak salah Singapore International Film Festival menganugerahinya Best Performance untuk perannya sebagai Siti. Sekar Sari mampu mengumpulkan konflik yang dialami karakter Siti dalam raut wajahnya. Seiring meningginya konflik dalam filmnya, wajah Siti seakan tambah runyam memendam segala beban hidupnya.
Satu lagi keunggulan film ini, sebagian besar dialog dalam film SITI menggunakan bahasa Jawa. Saya pribadi selalu menganggap film dengan dialog bahasa daerah itu lebih menarik dari pada sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia.
SITI juga menampilkan visual film monokrom, hal ini juga mendukung konflik film ini menjadi semakin terasa maksimal. Saya pernah membaca atau melihat video interview, tapi saya lupa dimana. Bahwasanya keputusan untuk menjadikan filmnya jadi hitam putih dikarenakan keterbatasan alat saat melakukan syuting filmnya.
Overall, SITI adalah film berseni yang harus dan layak mendapat apresiasi lebih besar di rumahnya sendiri, Indonesia.
demi untuk menjalani kehidupan rela menjual diri, masyaAllah ya…