Kantor atau tempat kerja merupakan lokasi di mana kita menghabiskan waktu lebih banyak dibandingkan rumah kita sendiri. Rekan kerja merupakan orang-orang yang mungkin lebih lama berinteraksi dengan kita dibandingkan dengan keluarga di rumah. Mungkin itu bisa menjadi gambaran sederhana kalau lingkungan kerja itu menyita sebagian besar waktu para pekerja. Oleh karena itu, kalau lingkungan kerja toxic, untuk jangka panjang efeknya akan sangat buruk bagi si pekerja.

Hidup di lingkungan kerja yang toxic dalam jangka panjang, tanpa mengetahui cara untuk meredam atau mengatasinya bisa berakibat buruk untuk kesehatan mental. Pekerjaan yang seharusnya bisa membuat kehidupan lebih layak, malah menjadi penyebab utama permasalahan kehidupan.

Mungkin ada di antara kalian yang bisa dengan mudahnya bilang, “tinggal resign saja,”, atau  “cari pekerjaan lain saja,”. Dalam kenyataanya, tidak semua pekerja bisa melakukan dua hal itu semudah yang lainnya. Nah mereka yang tak bisa keluar itulah yang butuh pertolongan untuk menghadapi lingkungan kerja yang toxic.

Seperti Apa Lingkungan Kerja yang Toxic?

Tempat kerja memang bukanlah tempat bermain dan bersantai-santai. Dalam sebuah pekerjaan pasti ada target yang memunculkan tekanan. Itu adalah hal biasa yang pasti ada di semua tempat kerja. Namun, tekanan di tempat kerja harusnya ada batasnya dan sesuai dengan deskripsi pekerjaan. Bukan tekanan yang tak masuk akal yang bisa menguras seluruh waktu pekerja meski dia sedang tidak di kantor atau bukan di jam kerja.

Sekarang, profesi saya memang pedagang alat-alat listrik rumahan sembari menulis secara freelance. Namun dulu saya pernah bekerja kantoran dan saya merasa kantor terakhir saya sangat toxic.

Awal mula kecurigaan saya muncul saat momen-momen pertama kerja saya mengetahui bahwa di kantor tersebut tidak ada cuti. Di pekan-pekan pertama saya kerja disitu, fokus saya meminta kontrak dan kesepakatan kerja, hingga peraturan perusahaan.

Namun hingga satu bulan berselang, saya tidak  mendapatkan apapun, bahkan saya mengetahui nominal gaji saya saat gajian di bulan pertama. Saat itu saya tidak ada pilihan lain selain mengikuti alur kantor tersebut. Sudah terlanjur merantau masa mau sebulan saja.

Di kantor itu banyak drama yang tak jelas. Antara satu pegawai dengan yang lain kerap saling menggunjing, bahkan merendahkan. Karena kantor tersebut memiliki banyak cabang di berbagai kota, sering muncul gosip permasalahan yang seringnya tentang menggelapkan uang.

Pemegang jabatan manajemen di kantor tersebut cenderung bekerja dengan santai. Sangat timpang dengan jabatan non manajerial. Kebetulan waktu itu saya menjadi seorang admin. Pekerjaan yang saya dapatkan sungguh banyak. Satu orang harus mengetahui detail cash flow enam pabrik berbeda.

Bahkan tak jarang saya melihat, para general manager asal saja menyuruh admin-admin lain, yang pekerjaannya sudah segunung, untuk mengerjakan tugas lain secara dadakan. Lebih aneh lagi, kantor ini tidak jelas mengenai sistem yang mau dipakai. Mau 5 hari kerja atau 6 hari kerja.

Jadi jumat sore itu para pegawai harus menunggu pengumuman dari direktur nya mengenai Sabtu masuk atau libur. Anehnya, mayoritas pegawai di kantor tersebut tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Saya cenderung emosi saat harus menunggu kabar tentang Sabtu libur atau masuk. Hal ini mengganggu rencana weekend saya untuk berkumpul bersama istri dan keluarga. Setiap hari jumat pasti saya meminta konfirmasi ke HRD tentang libur atau tidak. Tapi selalu hasilnya nihil, jawabanya selalu nunggu direktur saja. Konyol, bahkan toko grosir kecil-kecilan saja punya jadwal libur yang pasti.

Saat bekerja di situ, rasa curiga seperti menjadi hal yang biasa. Orang-orang suka mencurigai orang lain. Bahkan kalau sudah dicurigai oleh direkturnya, maka orang tersebut akan dikucilkan dan dihindari. Sebuah kekacauan yang terstruktur.

Sebagai pegawai baru, saya memang tidak berinteraksi langsung dengan direkturnya. Namun dari cerita yang saya dengar, kalau sang direktur sudah menginginkan sesuatu, maka yang disuruh harus langsung mengerjakannya, tak peduli jam berapa dan hari apa.

Satu kekonyolan yang saya sendiri pernah lihat adalah saat ada pemotongan gaji tanpa ada konfirmasi sebelumnya. Pemotongan tersebut diberi keterangan dengan “Ulang Tahun Bapak”. Setelah diusut, ternyata keuangan kerap memotong gaji karyawan apabila ada acara di luar kepentingan kantor. Seperti ada yang ulang tahun, menjenguk pekerja sakit, atau hadiah buat pekerja yang resign.

Tiga bulan menjadi admin di kantor pusat, saya di mutasi ke salah satu unit nya. Bisa dibilang pabrik tempat produksi dilakukan. Karena sistem kepegawaian, kontrak, dan peraturan memang tidak jelas, di pabrik pun tak kalah chaos kondisinya. Pekerja di pabrik selalu dihadapkan dengan kecurigaan orang kantor pusat. Jadi bekerja tidak berdasarkan prinsip kolaborasi, namun persaingan tidak sehat.

Kurang lebih dua tahun bekerja di perusahaan tersebut, akhirnya saya berkesempatan resign pada 2020.

Dari sedikit pengalaman itu saya bisa menyimpulkan kalau eks tempat kerja saya itu jelas-jelas toxic.

Untuk bisa mengetahui atau mengidentifikasi sebuah tempat kerja atau kantor itu toxic atau tidak, bisa dilihat dari berbagai parameter. Bagi teman-teman yang masih bingung apakah tempat kerjanya toxic atau tidak, coba lihat beberapa parameter di bawah ini; (poin-poin di bawah saya sarikan dari pengalaman pribadi serta mengutip beberapa laman online terpercaya)

  1. Tak Ada Batasan Tentang Pekerjaan

Deskripsi pekerjaan dan jam kerja di kantor Anda tidak jelas? Itu salah satu pertanda kalau tempat kerja Anda toxic. Kantor yang profesional akan menjelaskan deskripsi pekerjaan seorang pegawai. Terkait jam kerja, kantor yang profesional pasti memiliki jam operasional yang pasti dan pembagian karyawan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Mengerjakan pekerjaan di luar jobdesc sebenarnya tidak masalah, asalkan hanya sesekali saja dan dengan alasan yang masuk akal. Kalau bekerja di luar jobdesk dilakukan rutin, dan dengan paksaan serta ancaman, maka berhati-hatilah.

  1. Komunikasi Buruk

Lingkungan kerja dengan komunikasi buruk merupakan salah satu penunjang ketidaklancaran dalam bekerja. Lama kelamaan, hal ini bisa menjadikan lingkungan kerja itu menjadi toxic.

Buruknya komunikasi ini bisa berupa tidak adanya feedback tentang pekerjaan kita dari atasan. Pekerja seolah-olah dibiarkan berjalan sendiri tanpa arahan, hingga suatu saat nanti saat ada kesalahan, dia menerima akibatnya tanpa ada evaluasi.

  1. Banyak Rasa Tidak Percaya

Saat rasa tidak percaya membumbung tinggi di lingkungan kerja Anda, itu berarti tanda lingkungan kerja Anda tidak sehat. Saat seseorang bekerja harusnya merasakan dukungan dan tidak perlu khawatir akan sesama rekan kerja.  Kalau yang terjadi sebaliknya, maka Anda perlu waspada.

  1. Tak Ada Celah Untuk Berkembang

Kantor yang sehat adalah kantor yang memberikan ilmu untuk para pekerjaanya agar bisa naik kelas. Kalau kantormu toxic, kemungkinan kamu akan mendapat sugesti untuk menerima apa adanya meski telah mengabdi bertahun-tahun. Kerap ada tindakan untuk mendemotivasi saat Anda mulai belajar hal-hal baru. Kalau hal itu yang sekarang Anda rasakan, sebaiknya Anda mulai mengubah sikap Anda dengan rekan atau atasan di kantor.

  1. Kantor Penuh Drama

Saat saya baru saja masuk di kantor yang saya ceritakan di atas, saya langsung mendapat banyak cerita tentang kasus penggelapan uang.  Tak hanya itu, baru sebulan bekerja, saya diminta menelusuri penggunaan dana dari seorang manager yang dianggap tidak benar. Seiring berjalannya waktu, banyak sekali cerita-cerita absurd yang terjadi di kantor tersebut. Sepertinya tak ada hari tanpa membicarakan kekurangan pegawai lain. Tak tahu pula di kelompok lain mungkin membahas kekurangan saya.

Drama-drama itulah yang bisa dibilang menjadi salah satu tanda kalau sebuah kantor itu toxic.

  1. Pekerja Kerap Burn Out

Tekanan yang bertubi-tubi, perilaku toxic dari rekan kerja dan atasan yang semena-mena, bisa saja memicu kondisi fisik dan psikis pekerja tidak sesuai untuk melakukan pekerjaan.  Pekerja bisa merasa lelah terus menerus, tidak bersemangat saat di kantor, hingga produktivitas menurun drastis. Kalau Anda merasakan hal-hal tersebut, jangan langsung menyalahkan diri sendiri, bisa jadi kantor yang toxic  adalah penyebab Anda burn out.

Itulah beberapa hal yang bisa menjadi tanda kalau tempat kerja  memiliki budaya toxic yang berbahaya. Seringnya pekerja yang merasakan hal-hal toxic itu tidak langsung menyadari kalau hal tersebut berasal dari perusahaanya. Mereka cenderung merasa diri mereka sendiri yang kurang  dan menyalahkan diri sendiri.

Apabila Anda merasakan hal itu, Anda tidak sendirian. Namun, mulai sekarang jangan lagi merasa seperti itu. Kalau kamu sudah berusaha sekuat tenaga dan masih tetap tidak dihargai, maka merekalah yang salah.

Efek Lingkungan Kerja Toxic Bagi Kesehatan Mental

Terus menerus disalahkan, dikucilkan, tidak dihargai saat di tempat kerja bisa menghilangkan motivasi dalam bekerja. Hal ini bisa memicu buruknya performa seorang pekerja, yang kemudian akan menambah tekanan pada diri si pekerja.

Biasanya, efek paling awal jika Anda bekerja di lingkungan yang toxic adalah si pekerja merasa tidak bisa melakukan apa-apa. Pekeraan yang dia lakukan sepenuh hati kerap direndahkan atau tidak dianggap. Hal itu tentunya buruk bagi kesehatan mental seseorang.

Perasaan menyalahkan diri sendiri secara terus menerus bisa memicu stres yang berlebih. Bagi masing-masing individu efeknya bisa berbeda-beda, namun satu yang pasti, hal tersebut bisa berefek buruk bagi kesehatan mental. Di tahap yang parah bisa memicu kecemasan berlebih hingga menyerang kesehatan fisik.

Oleh karena itu, meski harus bekerja di tempat kerja yang toxic, teman-teman harus bisa meregulasi kondisi tersebut agar tidak menyerang kesehatan mental secara membabi buta. Hal itu perlu dilakukan sembari berjuang mengubah kondisi toxic atau sembari mencari peluang di tempat yang lebih baik.

Bagi teman-teman yang bekerja di tempat yang cenderung toxic dan tidak bisa langsung pindah dari tempat tersebut, pertimbangkan untuk melakukan hal-hal berikut ini;

  1. Anda Harus Memahami Situasi

Hal ini bisa dibilang menjadi salah satu sikap paling  sulit dilakukan. Apabila pekerja sudah terjebak di lingkungan toxic, seringnya dia tidak menyadari dan terus menyalahkan diri sendiri.

Untuk bisa menanggulanginya, Anda harus berani dan memahami kalau yang salah itu lingkungannya, bukan diri Anda. Mulai dari sikap itu, Anda akan memahami situasi yang ada dan bisa menentukan sikap ke depannya.

  1. Bangun Koneksi Sesama Pekerja yang Terpercaya

Dalam lingkungan kerja yang toxic, saling mempercayai adalah hal yang sangat berharga. Usahakan Anda bisa membentuk kelompok kecil antar-pekerja yang bisa dipercaya. Melalui kelompok kecil itu Anda bisa saling menguatkan dan saling membantu dalam pekerjaan.

Namun perlu diingat, jangan sampai Anda membentuk kelompok di kantor yang nantinya bakal bertindak toxic ke pekerja lain. Anda harus fokus untuk memperbaiki kondisi individu, atau kalau bisa lebih ya memperbaiki budaya di kantor tersebut.

  1. Ciptakan Work-Life Balance

Work-Life Balance merupakan salah satu syarat utama agar pekerjaan tidak merugikan pekerja. Anda harus tegas dengan diri Anda agar tidak selalu bekerja melebihi waktu yang sudah ditentukan.

Sedikit demi sedikit proteslah ke atasan yang tidak memedulikan batasan jam kerja.  Percayalah bahwa pekerja dilindungi aturan pemerintah, sehingga atasan tidak akan langsung menghukum jika jam kerja sesuai aturan sudah dipenuhi.

Biasanya atasan yang memaksakan jam kerja berlebih hanya mengambil kesempatan dari diamnya staf-staf mereka.

Selain memberi masukan ke atasan, Anda juga bisa mulai mendisiplinkan diri terkait jam kerja. Gunakan jam kerja sebaik mungkin, dan pulanglah setelah waktunya tiba. Dalam jangka panjang, kedisiplinan terkait jam kerja ini akan memberi efek positif bagi fisik dan psikis Anda.

  1. Cari Akses Untuk Pertolongan Profesional

Apabila efek lingkungan kerja yang toxic  sampai mengganggu aktivitas Anda sehari-hari, emosi menjadi tidak stabil, kerap lelah tanpa alasan yang jelas, dan kerap utus asa, berarti efeknya bisa dibilang sudah ekstrem.

Di kondisi seperti ini Anda perlu mengambil tindakan agar efek buruknya tidak semakin parah. Salah satu cara yang paling direkomendasikan adalah mencari pertolongan profesional.

Apabila Anda tidak memiliki akses dengan profesional yang menangani masalah psikis dan mental, cara terbaik untuk memulainya adalah melalui Dear Senja.

Dear Senja merupakan organisasi yang berfokus pada pelayanan orang-orang di Indonesia yang mengalami masalah dengan kesehatan mental. Melalui Dear Senja, Anda akan dibantu untuk menghadapi apapun masalah mental yang sedang Anda hadapi.

Dear Senja memungkinkan untuk menjangkau Anda di manapun Anda berada. Grup telegram yang bisa diakses dengan mudah di sini (https://t.me/dearsupportsystem).

Untuk Anda yang membutuhkan support system dan teman curhat yang privat, Dear Senja juga mampu menyediakannya yang tentunya berasal dari tenaga profesional dan dijamin pasti anonim.

Kalau Anda butuh beragam pengetahuan mengenai kesehatan mental, bisa akses langsung ke blog Dear Senja di https://www.blog.dearsenja.com/. Anda juga bisa mengakses laman resmi Dear Senja untuk mengetahui lebih detail di https://www.dearsenja.com/.

  1. Siapkan Rencana Resign

Apabila usaha mengubah kondisi kantor terasa sia-sia. Selain itu, usaha untuk bertahan menjadi semakin berat, maka tandanya Anda harus mempersiapkan rencana keluar dari kantor tersebut.

Resign bukan berarti kalah. Resign adalah lompatan besar bagi Anda agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Siapkan mata pencaharian baru sebelum resign. Anda bisa memulai usaha atau melamar di kantor lain yang sesuai spesifikasi Anda.

Itulah sedikit pembahasan mengenai tempat kerja yang toxic dan cara-cara sederhana untuk menghadapinya. Inti dari pembahasan ini adalah demi menjaga kesehatan mental. Kondisi mental yang sehat akan menciptakan individu yang juga sehat dan prima. Dalam skala yang lebih besar, individu yang sehat dan prima akan menciptakan masyarakat yang teratur, kreatif, dan mampu bersinergi.

Informasi mengenai kesehatan mental memang sudah banyak dan bisa diakses dengan mudah. Meski demikian, masih belum banyak orang yang memosisikan kesehatan mental sebagai hal yang penting. Hal inilah  yang perlahan tapi pasti harus bisa diubah.

Kesehatan mental itu penting. Bercerita dan berbagai mengenai keluh kesah bukan hal memalukan. Meminta pertolongan juga bukan hal tabu dan tidak perlu dihindari. Lebih baik meminta tolong, daripada berakhir tragis.

Artikel ini diikutkan dalam #DearSenjaBlogCompetition dan juga merupakan sumbangsih artikel positif mengenai pentingnya kesehatan mental di dunia kerja.