Semenjak pandemi beberapa tahun terakhir, saya sudah jarang nonton bioskop. Jadi, nonton filmnya lebih sering di aplikasi OTT. Beberapa waktu kemarin, Netflix merilis film Indonesia yang sebelumnya sudah rilis di bioskop. Film tersebut adalah Qorin, film horor yang disutradarai oleh Ginanti Rona. Bukan sekedar film horor yang nakut-nakutin, Qorin membawa pesan lain yang cukup perlu diperhatikan oleh banyak orang.
Qorin bukan melulu film horor yang mengeksploitasi hantu-hantu dengan penampakan dan kesurupan. Bahkan menurut saya, Qorin ini kurang cocok ditonton bagi kalian yang menyukai formula film horor mainstream.
Pemeran & Sinopsis Film Qorin
Sebelum membahas lebih mendalam tentang kaitan film Qorin dan judul artikel ini, saya akan memberi sedikit gambaran tentang pemeran dan sinopsis film Qorin. Film ini dibintangi oleh Zulfa Maharani, Omar Daniel, Putri Ayudya, Pritt Timothy, dan Aghniny Haque.
Qorin mengisahkan tentang sekelompok santriwati di sebuah pondok pesantren di desa terpencil. Mereka dididik sebagai murid yang harus sopan, dan menuruti apa yang diinginkan guru mereka. Pola pendidikan itu membuat sekelompok santriwati itu tumbuh menjadi individu yang menganggap guru mereka pasti selalu benar.
Suatu saat datanglah santi pindahan dari kota yang memiliki watak kontras dengan santri di pesantren tersebut. Si pendatang baru bernama Yolanda itu dicap sebagai santriwati nakal dan tidak penurut.
Meski demikian, pikiran kritis dan penasaran Yolanda mendapat dukungan dari Zahra, ketua kelas yang dikenal sangat disiplin dan tidak pernah membantah gurunya. Keduanya mencium kecurigaan dari cara mengajar sang guru.
Di suatu titik, semua murid kelas 3 harus mempelajari ritual pemanggilan jin Qorin sebagai syarat kelulusan. Meski tidak masuk akal, para santriwati tetap melakukan syarat yang dibebankan tanpa curiga.
Yolanda termasuk yang paling curiga dan menentang. Meski bertanya, dia malah dituduh menyimpang oleh sang guru. Sempat Yolanda mencoba untuk membuka logika dan rasa kritis teman-temannya. Namun hasilnya Yolanda malah dimusuhi bahkan oleh Zahra.
Akhirnya, ritual pemanggilan jin Qorin pun berlangsung. Semenjak saat itu, kejadian aneh mulai kerap terjadi. Para santri mulai diminta ke ruangan sang guru secara bergantian. Para santri tampak tak bisa menolak apa yang diminta oleh guru mereka.
Ternyata, si guru bejat itu melecehkan para santri yang sudah dikuasai oleh jin Qorin. Kemudian perlahan mulai terungkap, si guru bejat sudah kerap melecehkan muridnya berbekal kekuasaannya sebagai guru yang menentukan kelulusan. Bahkan Zahra juga menjadi salah satu korbannya.
Kasus Pelecehan Seksual di Lingkungan Pondok Pesantren
Alih-alih berfokus dengan cerita horornya, saat nonton Qorin saya sudah merasa kalau film ini membawa pesan yang lebih dalam daripada hanya sekedar gangguan Jin Qorin. Sampe akhir filmnya malah si jin ini tidak benar-benar ditampakkan secara utuh. Filmnya lebih berfokus pada perjuangan para santri untuk lepas dari jeratan dan ancaman si guru bejat.
Apa yang digambarkan di Qorin memang sebuah cerita fiktif, namun fenomena yang terjadi itu benar-benar ada di dunia nyata. Qorin menggambarkan, bagaimana peristiwa itu bisa juga terjadi di lingkungan yang secara teori adalah lingkungan aman dan baik.
Pesantren yang harusnya menjadi tempat aman untuk semua umat tuhan, malah dijadikan sebagai tempat paling nyaman untuk berbuat bejat. Hal ini terjadi karena lingkaran setan yang sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama.
Di Indonesia, ada beberapa kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren. Tak tanggung-tanggung, satu pelaku saja ada yang korbannya puluhan. Ada juga oknum pengurus pesantren yang sudah ditetapkan menjadi tersangka, masih dilindungi oleh komunitas bahkan korban yang menjadi saksi malah menerima perundungan.
Tak hanya di pesantren, kasus serupa juga terjadi di sebuah asrama sekolah yang diklaim sebagai sekolah gratis untuk orang-orang yang tidak mampu. Bisa dibayangkan bagaimana kejinya, orang yang membutuhkan bantuan malah diperdaya untuk kepuasan oknum-oknum powerfull.
Dari Film Qorin Kita Belajar….
Apa yang digambarkan di film Qorin benar-benar terjadi di dunia nyata. Santri dan murid yang mayoritas perempuan diperdaya dengan tipu muslihat. Mereka dikungkung dalam lingkungan tertutup. Kerap dicekoki dengan dogma-dogma sehingga tak mampu lagi banyak bertanya.
Dogma-dogma yang diterima setiap hari, serta lingkungan yang tertutup dan jarangnya muncul informasi baru, membuat para murid dan santri tidak merasa ada yang salah dengan lingkungan asrama di mana mereka tinggal.
Janji-janji yang diberikan oleh sosok yang dianggap panutan juga menjadi salah satu alasan para korban menjadi terperdaya dan tidak merasa baru saja dilecehkan.
Selain itu, sosok Yolanda adalah sebuah sosok anti dari kasus serupa. Apabila tidak ada campur tangan orang luar, kasus pelecehan di dalam asrama akan sangat susah diungkap. Yolanda yang diceritakan sebagai orang baru masih bisa membawa logika yang sudah hilang dalam diri para santri.
Dia bisa mempertanyakan kebijakan-kebijakan pesantren atau oknum pengajar apabila sudah di luar kenormalan. Namun, sayang sekali unsur seperti Yolanda ini tidak selalu ada dalam setiap pesantren atau asrama. Kalau sudah seperti itu, apa yang harus dilakukan untuk mencegah teman, saudara, atau bahkan anak kita menjadi korban saat di asrama atau pesantren?
Peran Orang Tua dalam Memilih Pesantren
Agar teman, saudara, atau anak kita terhindar dari kejahatan di dalam pesantren seharusnya ada bekal dari para orang tua. Anak harus dididik menjadi individu yang kritis dan tidak malu untuk bertanya. Selain itu, anak harus sudah mandiri sebelum masuk ke pesantren.
Hal ini diperlukan untuk menghindari kondisi-kondisi di mana kondisi pesantren meminta para santri untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Saat santri sudah dilaith menjadi individu yang kritis, dia bisa bertanya dan berartikulasi dengan pengajar mereka di pesantren.
Untuk mandiri, kalau saat di pesantren sikap kritisnya membuat dia dijauhi teman-teman dan di cap miring oleh oknum pengajar, maka dia masih bisa bertahan dengan kebiasaan mandirinya.
Para orang tua juga harus belajar lebih mendalam mengenai seluk beluk pesantren sebelum menyuruh atau meminta anak untuk belajar di sebuah pondok pesantren. Kejadian pelecehan seksual di pondok pesantren itu semua terjadi di pondok pesantren yang dilihat terhormat.
Orang tua harus bisa menilai dan mendalami konsep pembelajaran di sebuah pesantren dan memahami kondisi sosial yang diterapkan di dalam sebuah pesantren. Hal ini diperlukan agar orang tua juga bia menilai, sebuah pesantren itu benar-benar cocok untuk sang anak.
Trackbacks/Pingbacks