Beberapa di antara kalian mungkin sudah pernah mendengar peristiwa tragis yang kerap disebut dengan The Burari Deaths. Peristiwa itu terjadi pada Juli 2018 di daerah Burari, Delhi, India. Peristiwa tragis yang mungkin sulit untuk dicerna akal sehat itu menurut saya menjadi bukti nyata bahwa media memang rentan mengeksploitasi berita buruk.

Opini ini saya tulis setelah menonton film dokumenter dari Netflix berjudul House of Secrets: The Burari Deaths

Tragedi Burari merupakan peristiwa tragis di mana 11 orang  dalam satu rumah ditemukan tewas. Sepuluh di antaranya dalam posisi tergantung, dan satu posisi tergeletak.  Para korban merupakan satu keluarga dari tiga generasi.

Di rumah tersebut tinggal sang nenek yang tertua berusia 80 tahun. Kemudian tiga anak, dua di antaranya masih lengkap suami istri dan satu janda. Kemudian ada lima cucu dengan dua orang masih berusia 15 tahun.

Penemuan ini sontak menghebohkan daerah Burari. Polisi yang datang pun terkejut melihat situasi yang ada. Tak butuh waktu lama, daerah Burari berubah menjadi pusat perhatian berskala nasional.

Media dari berbagai platform berlomba-lomba untuk memberitakan peristiwa ini. Di sinilah batas abu-abu antara menyajikan informasi atau memberikan sensasi menjadi semakin tidak jelas.

Pemberitaan Media Menggiring kepada Hal-Hal Kontraproduktif

Dalam film dokumenter tersebut digambarkan secara gamblang bagaimana peran media dalam menyajikan informasi  menjadi terlalu dominan dan malah menggerakan opini masyarakat ke hal-hal yang tidak membangun dan tidak mendukung pemecahan kasus.

Diungkapkan dalam dokumenter tersebut, saat ada keterangan sementara dari kepolisian, media seolah-olah malah mengekspose hal sebaliknya dan menciptakan gelombang protes terhadap Polisi India.

Dalam keterangan awal disebutkan ada dugaan kematian mereka adalah bunuh diri massal. Hal itu diungkapkan karena tidak ada tanda-tanda pencurian, penganiayaan, atau dari rekaman CCTV juga tidak ada orang luar yang keluar masuk rumah tersebut.

Keterangan awal ini sontak mengundang protes dari pihak keluarga korban.  Mereka tidak percaya kalau adik, kakak, dan ibu mereka bersepakat untuk bunuh diri, bahkan hingga mengorbankan anak 15 tahun. Hal ini tentunya wajar apabila didengar dari mulut keluarga yang sedang kalut dan berduka.

Namun, protes ini diamplifikasi oleh media sampai memunculkan sentimen terhadap kepolisian. Tak butuh waktu lama muncullah protes yang menganggap kepolisian menutupi kebenaran. Ada tuntutan untuk segera diungkap siapa di balik pembunuhan keji tersebut.

Tentunya protes seperti ini sangat menghalangi kinerja penyidik. Lingkungan dekat tempat kejadian menjadi lokasi yang macet, padat,dan susah diakses. Padahal seharusnya media bertanggung jawab untuk menenangkan massa dengan pemberitaan yang menenangkan dan tidak menyulut.

Media Menggiring Opini Hingga Memfitnah Seseorang

Penyidikan pun terus belanjut, berawal dari penemuan 11 pipa yang menembus tembok di belakang rumah, seorang mandor tukang dipanggil sebagai saksi. Menurut polisi dan penyidik, posisi pipa-pipa tersebut mencurigakan dan mirip dengan formasi penggantungan diri.

Investigasi terhadap mandor tukang tidak menghasilkan apa-apa, karena menurut sang mandor, pipa itu dibuat untuk ventilasi. Pemilik rumah pun memberikan bahan-bahan yang kemungkinan bekas sehingga potongannya berberda-beda. Sepengetahuan sang mandor tidak ada niatan khusus atau terkait kultus tertentu.

Kemungkinan, karena tidak ada informasi yang sensasional, ada oknum yang sengaja membakar informasi ngawur agar sensasinya kembali naik. Di India lekat dengan kebiasaan guru spiritual, karena sebelumnya kepolisian menyinggung kultus dan kemungkinan bunuh diri massal, maka sosok guru spiritual mulai diangkat media.

Apesnya, anak dari si mandor sempat tertangkap kamera menggunakan busana serba merah. Di India, kemungkinan ada kebiasaan guru-guru spiritual kerap memakai busana serba merah. Tanpa konfirmasi dan fakta apapun, ada oknum media yang mengangkat isu bahwa anak si mandor kemungkinan adalah si guru spiritual yang dicari.

Hal tersebut dalam sekejap viral, anak si mandor yang tak tahu apa-apa sontak menjadi sorotan media. Berbagai fitnah mengarah ke dirinya. Bahkan, entah karena alasan apa, kepolisian India pun menggiring anak si mandor ke kepolisian untuk dimintai keterangan.

Begitu besarnya efek media pemberitaan, bahkan hal-hal yang tak masuk akal pun menjadi dianggap logis untuk dilakukan.

Setelah dimintai keterangan, ya hasilnya nihil. Tidak ada fakta baru yang terkait tragedi Burari. Malah sebaliknya, anak si mandor sudah mengalami kerugian yang tak hanya menimpa dirinya namun juga keluarganya.

Tragedi yang Menjadi Drama

Seiring berjalannya waktu, berbagai bukti dikumpulkan sehingga muncul kesimpulan bahwa peristiwa tersebut dikategorikan dalam peristiwa halusinasi masal atau shared psychosis atau shared delusional.

Ketiadaan saksi hidup yang bisa dimintai keterangan dan rekaman yang memvalidasi keterangan penyidik membuat gunjingan terkait kasus ini tetap ramai meskipun kepolisian sudah menutupnya.

Media-media lokal cenderung tidak berfokus pada kenangan positif yang ditinggalkan para korban, namun terus menggali hal-hal abu-abu dan tak pasti terkait kematian seluruh anggota keluiarga tersebut.

Bahkan tragedi tersebut cenderung menjadi satu sumber drama yang terus dieksploitasi oleh media-media culas yang hanya memikirkan tentang bisnis tanpa peduli dengan tugas utama mereka untuk meliterasi bangsa.

Apabila Anda penasaran dengan cerita lengkap dari Peristiwa Burari, tonton saja film dokumenter House of Secrets: The Burari Deaths yang ada di Netflix.