Mereka Yang tak pernah berperang, biasanya berteriak paling lantang tentang perang
–Linimassa 2-
Sebuah frasa penggugah rasa yang muncul di awal film Dokumenter berjudul Linimassa2, sebuah film dokumenter yang menceritakan tentang kompleksitas serbuan teknologi dan fenomena sisi kapital atau mainstream yang sering di anggap kiblat bagi sebagian besar warga Indonesia dan tentang bagaimana menyikapinya serta memaksimalkan sumber daya yang ada untuk menjadi lebih baik.
Persoalan ini diawali dengan ‘kelakuan’ media mainstream atau media utama yang notabene harus kredibel dan pas dalam membagi informasi ke masyarakat luas, tapi akhir-ahir ini seperti yang di ketahui para aktivis sosial media, blogger, para aktivis media berbasis komunitas dan mereka yang peduli dengan media di Indonesia, sepertinya media mainstream kurang tepat dalam menjalani perannya sebagai media utama penyebar informasi, media mainstream telah menjadi alat kapitalis yang berjalan sesuai rating dan sponsor yang ada, sepertinya media mainstream sudah kehilangan idelisme nya secara kabur tapi pasti. Media mainstream lebih memilih menyebarkan berita sebagai fenomena yang mencengangkan daripada sebagai sumber informasi, sehingga bahan berita dibuat se-fenomenal mungkin agar mendapat rating tinggi, frasa ‘Bad news is a good news’ sepertinya mulai di aplikasikan adalam arti sebenarnya, informasi yang seharusnya menambah kewaspadaan masyarakat mengenai hal tertentu, malah menjadi alat provokasi yang membuat semuanya menjadi lebih parah, model pemberitaan yang terlalu hiperbolis dan redaksional yang mem-provokasi menjadi andalan dalam memuat berita.
Contoh nyata yang terjadi ialah saat di Ambon terjadi kerusuhan antar warga, media mainstream memberitakan seolah-olah Ambon sedang membara dan kerusuhan terjadi dimana-mana, sehingga terjadi kepanikan diantara warga yang sebenarnya kepanikan itu tidak perlu terjadi. Oleh karena fenomena ini, bebrapa aktivis social media yang berasal dari Ambon, seperti @almascatie berinisiatif untuk memberikan informasi yang lebih nyata dan menyebarkan informasi yang bertujuan untuk tidak memprovokasi warga sekitar. Dari apa yang dilakukan @almascatie dan teman-temannya dalam film dokumenter linimassa 2 dapat disimpulan bahwa teknologi menjadi berkah dan teman serta alat yang kuat untuk melakukan sesuatu. Bagaimana suatu komunitas atau individu berjuang untuk menyuarakan kebenaran tanpa diikuti embel-embel kepentingan manapun, terlihat jelas bagaimana orang-orang tersebut menganggap teknologi sebagai berkah, bukan bencana, bagaimana memaksimalkan media yang ada sehingga bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa.
Maksimalisasi media tak sebatas hanya bisa digunakan saat ada bencana, di tempat lain di Indonesia, di pusat kota maupun di pelosok penjuru desa yang lain, juga ada gerakan yang menganggap teknologi media sebagai berkah dan menggunakannya untuk membuat perubahan. Seperti halnya yang di dokumentasi oleh para pembuat Linimassa 2, Radio Komunitas Primadona FM di Lombok, yang menggunakan jaringan gelombang radio untuk menyalurkan aspirasi warga sekitar Lombok. Ada juga Multimedia village dan Cyber Village yang masing-masing di Tasikmalaya dan Yogyakarta, Multimedia Village lebih condong ke gerakan sosial, mereka mengunakan website untuk meliput kegiatan di desa tersebut dan menyebarkan informasinya ke dunia luas. Cyber village yang berada di Yogyakarta, lebih condong ke gerakan bersama sadar internet, warga satu kampung bersama menggunakan internet, yang disebut dengan internet terpadu. Dengan internet terpadu, semua warga dikenalkan dengan dunia internet dan setelah itu mulai memaksimalkan guna dan peran internet untuk kehidupan sehari-hari. Ada juga HIV/AIDS community, sebuah komunitas yang bergerak di bidang penyuluhan dan info mengenai HIV/AIDS. Emak-emak Blogger, komunitas blogger yang anggotanya adalah ibu-ibu yang notabene adalah Ibu rumah tangga, bukan seorang blogger, tapi batasan itu di tembus dengan adanya Emak-Emak Blogger. Komunitas yang ada tersebut semakin menambah daftar orang-orang yang menganggap social media sebagai berkah dan menggunakannya untuk kebaikan bersama. Primadona FM yang berada di pelosok Lombok pun membuktikan, media akan menjadi berkah yang tak terhingga jika selalu diajak berteman, tak perlu modal sebesar dana membuat Jembatan, niat dan keinginan pun bisa mewujudkannya. Beberapa keluhan warga tersampaikan dengan adanya Primadona FM.
Disini Tuhan tak perlu disebut, Dia selalu mengawasi dan menentukan.
Sekarang ini masyarakat bukanlah penonton lugu apa yang telah disajikan oleh Media Mainstream, dan juga bukanlah sekelompok manusia yang menunggu perubahan, mulai dari diri sendiri, mulai buka kesadaran diri, gunakan media yang ada untuk memantik perubahan. Film documenter Linimassa 2 sudah cukup kental dalam pemberian fakta dan hasilnya, sekarang tinggal kita mau melangkah kemana untuk membuat perubahan. Semuanya mungkin, tidak ada yang tidak mungkin.
Keren 😀
huft sangat menyedihkan ya .
wah, bener banget. kadang media itu membesar-besarkan masalah sehingga yang muyncul malah kepanikan, 🙁
Media yang ada saat ini tidka seperti dulu cenderung mirip dengan infotainmen dan tidak menilik dari kaca subjektif tapi ovjektif, apa itu karena sekarang media disetir oleh para politikus ya ??
terima kasih atas postingan Dibawah Kulit Linimassa 2
“Teknologi adalah berkah, bukan bencana”, mungkin inilah satu dari banyak makna yang bisa kita ambil dari film documenter tentang media, Linimassa2. Mengingat adanya pandangan “Jika ingin menguasai dunia, kuasailah media”, kini media semakin terasa perannya. Dengan fungsinya sebagai pemberi informasi, ia mampu menduduki peran penting sederajat konsep pemerintahan Indonesia, Trias Politika. Dimana, saat terdapat badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, media seolah menduduki posisi sebagai badan independen yang berperan sebagai pengontrol sekaligus pengawas yang bebas. Parahnya, ia kini diwaspadai sebagai pemacu utama munculnya Perang Dunia 3. Analogi kecil bisa kita tilik pada cuplikan Linimassa2 tentang kerusuhan di sebuah daerah di Ambon bulan September 2011 yang lalu. Rusuh yang sebenarnya terjadi hanyalah di satu daerah kecil di Ambon, dan hanya disebabkan oleh tewasnya satu orang tukang ojek. Namun, dengan media yang “membakar”, wilayah kerusuhan meluas, tak terkendali, dan banyak warga Ambon terlibat langsung didalamnya. Media mainstream (koran, televise, radio, dan internet)—yang membelakangi kepentingannya—menjadi bersifat menjual berita daripada mengabarkan berita. Berbeda dengan media kecil (facebook, twitter, dan blog) yang lebih murni dalam mengabarkan berita—yang memiliki tak kalah manfaat—yang dibahas secara rapi dalam film Linimassa2.