Investor asing kini bisa memiliki saham hingga 100 persen dalam ranah bisnis bioskop di Indonesia. Hal tersebut merupakan salah satu keputusan kebijakan ekonomi jilid X terkait Daftar Investasi Negatif (DNI) yang diumumkan pemerintah 11 Februari lalu. Menyikapi peraturan baru ini, banyak pihak yang menyambutnya dengan positif, tetapi di sisi lain ada juga yang mempertanyakan kejelasan peraturan ini.
Pembangunan layar bioskop yang lebih banyak dan lebih merata memang sudah menjadi pembahasan sejak lama, hal tersebut dianggap menjadi salah satu solusi utama untuk mengembangkan industri film Indonesia. Menurut Gondo Susiarjo, investor dan salah satu pendiri Equator Film Expo, kurangnya layar bioskop memang sebagai penghambat utama perkembangan industri film dalam negeri.
Pemerintah Indonesia sudah memulai pembahasan mengenai pasar bebas industri film sejak 2011. Penambahan layar bioskop mencapai 5000 layar juga ditargetkan pemerintah bisa dicapai di tahun 2019. Hal ini juga ditandai dengan munculnya beberapa pendatang baru di ranah ekshibisi film atau bioskop.
Dua tahun lalu, Lippo Group melebarkan sayap usahanya dengan mendirikan jaringan bioskop Cinemaxx. Dalam kurun waktu tersebut, Cinemaxx dikabarkan sudah memiliki 150 layar. Untuk mengembangkan jaringannya, Cinemaxx menggandeng Deutsche Bank untuk menggalang dana investasi dengan target 2000 layar untuk kurun waktu 10 tahun.
“Ini adalah hal bagus, perkembangan yang positif untuk Indonesia. Selama ini, kurangnya investasi menyebabkan perkembangan bioskop seperti jalan di tempat,” respon Brian Riady, CEO jaringan bioskop Cinemaxx seperti dikutip Variety.
Brian Riady juga menambahkan sekarang ini kebanyakan bioskop baru dibangun di dalam pusat perbelanjaan. Hal tersebut memang membatasi perkembangan bangunan, tetapi hal ini diharapkan tidak menyurutkan antusiasme para investor atau perusahaan asing untuk masuk ke ranah industri bioskop.
Dengan penduduk yang mencapai 255 juta jiwa, Indonesia merupakan lahan bisnis yang menjanjikan untuk para investor. Dari 2011 hingga 2014, pelanggan jaringan usaha Lippo Group mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Tercatat ada 1.3 juta pelanggan di tahun 2011 dan meningkat jadi 3.85 juta pelanggan di akhir 2014. Dengan statistik tersebut tak mengherankan jika di tahun 2011 Saban Capital Group memberikan investasi ke salah satu media terbesar di Indonesia. Selain itu, CA Media menempatkan pasar Indonesia setara dengan India dan Cina.
PERLU PENGATURAN LEBIH MENDETAIL
Dengan adanya sistem baru dan potensi yang terbuka lebar, masih diperlukan pembahasan dan pengawasan panjang agar terobosan ini tidak merugikan industri film dalam negeri, khususnya para sineas film dalam negeri.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin yang sejak awal menentang peraturan baru ini memberikan penilaian pribadinya mengenai apa yang akan terjadi jika investor asing sudah mulai masuk.
Djonny menilai hal ini akan memberi efek signifikan dari sisi kebudayaan. Bioskop dan distributor asing dinilainya akan cenderung memasukan film dan budaya asing daripada film dalam negeri. “Nanti orang kita bisa apa? Jadi pembantu mereka aja, kan. Pastinya 70 sampai 75 persen film di bioskop mereka adalah film asing. Dengan kata lain, film Indonesia akan sulit berkembang,” tegas Djonny seperti dikutip Kompas.com.
Efek kedua dari segi distribusi, Djonny menganggap nantinya investor bioskop asing akan sulit diatur mengenai distribusi film. Mereka akan cenderung membawa distributornya sendiri untuk menayangkan film. Hal itu akan berakibat para produser lokal harus membayar lagi untuk mendistribusikan filmnya di bioskop-bioskop milik investor asing.
Efek ketiga dari segi peraturan. Djonny merujuk pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang mewajibkan bioskop-bioskop di Indonesia menayangkan 60 persen waktu tayang untuk film-film Indonesia. “Itu nantinya siapa yang akan atur?,” tanya Djonny, masih dikutip dari Kompas.com. Djonny beranggapan para investor asing pasti enggan diatur mengenai kuota layar. Bahkan mungkin mereka akan kaget jika ternyata ada peraturan tersebut.
Mengenai aturan kuota layar tersebut, situs Variety juga menyebutnya sebagai satu penghalang untuk para investor asing. Situs asal Amerika itu juga menyebutkan peraturan mengenai kuota layar tersebut masih sering tidak dianggap oleh bioskop lokal Indonesia.
Seperti menjawab anggapan Djonny Syafruddin, Franky Sibarani, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menegaskan dalam jangka panjang UU No.33 tersebut akan ditreapkan untuk mendorong industri film nasional.
Artikel ini pertama kali dimuat di Muvila.com, pada tanggal 28 Maret 2016 dengan judul ‘Peluang dan Tantangan Investasi Asing bagi Perfilman Indonesia‘ baca versi yang sudah diedit di Muvila.com ya
Ilustrasi bioskop diambil dari https://kineforum.wordpress.com