Pada Januari 2015 saya pernah menulis cerita tentang merantau, ya, saat itu saya yang asli Solo harus merantau  ke Malang, Jawa Timur untuk keperluan pekerjaan. Cerita itu berlangsung kurang lebih satu tahun enam bulan sebelum akhirnya saya pulang ke Solo. Pulang Solo kurang lebih dua tahun, kini saya kembali merantau ke Kuningan, Jawa Barat.

Proses merantau ke Kuningan diwarnai dengan pertimbangan panjang. Saya menikah dengan perempuan Brebes pada Maret 2017. Hingga setahun setelah pernikahan, saya masih kerja di Solo dan istri sibuk dengan bisnis Wedding Hampers-nya di Brebes.

Setelah drama LDR yang membuat saya rutin piknik dua pekan hingga sebulan sekali ke Brebes, akhirnya tantangan baru muncul. Ada kesempatan kerja tapi tidak di Brebes. Melalui koneksi saudara dari mertua, saya berkesempatan kerja di Kuningan. Jaraknya satu setengah sampai dua jam dari Brebes. Tapi udah beda provinsi.

“Kerja jauh dari rumah lagi? Ah gampang lah ya, udah pernah juga merantau di Malang,” kira-kira seperti itu kataku saat momen-momen mendekati berangkat. Ternyata bayangan ku salah.

First week is the hardest. Saya mulai di Kuningan awal Juli 2018. Pekan-pekan pertama sungguh berat rasanya. Galau meliputi hari-hari. Suasana baru, tempat tidur baru, dan kerjaan baru. Kata istri, responsku mirip pas pekan pertama di Malang. Padahal kalau saya ingat-ingat, kayaknya pekan pertama di Malang lebih ringan daripada sekarang.

Sejak di Malang hingga di Solo, kerjaan saya adalah jurnalis media online. Di Malang fokus ke berita film, di Solo fokus ke berita-berita unik, viral, dan timeless. Dua kerjaan itu termasuk passion saya, menulis. Ditambah dengan pengalaman nge-blog, adaptasi di media online rasanya gampang, khususnya pas di Solo.

Beda cerita sekarang. Dapat kerjaan lewat koneksi saudara itu ga selalu menyenangkan(mungkin ga ada yang menyenangkan). Saya ditempatkan di posisi yang saya sama sekali tak memiliki pengalaman di dalamnya. Disebut posisinya saja awalnya saya tak paham itu ngapain.

Okay, bersama HRD & owner-nya, saya diberi kesempatan untuk belajar sembari langsung ngantor. Sebuah sikap yang baik hati sekali kan? saya ga memungkiri itu. Namun di sini saya yang merasakan langsung di kantor setiap harinya. Saya di kelilingi orang yang andal di bidangnya masing-masing, sedangkan saya sendiri tong kosong.

Ilustrasi kehidupan kantor (Photo by Charles Forerunner on Unsplash)

Ilustrasi kehidupan kantor (Photo by Charles Forerunner on Unsplash)

Seperti yang saya tulis di atas, pekan pertama sejauh ini paling berat. Hari-hari saya lewati belajar tentang jobdesc yang saya tempati. Saya mulai harus paham alur pencairan dana, minta tanda tangan sana-sini, dan pencatatan uang keluar masuk.

Semua kegiatan tersebut baru bagi saya yang biasanya cuman nulis. Latar belakang teori pun sedikitpun tak ada. Hari berganti saya mulai paham alur yang harus saya kerjakan. Beberapa teknik membuat laporan sudah saya coba lakukan. Meski kelihatan bisa, hingga dua pekan berlatih masih saja ada rasa khawatir kalau salah atau tiba-tiba tak tahun apa-apa.

Hingga jalan pekan ketiga, suasana kerjaan masih up and down. Teman-teman di kantor baru yang sejauh ini friendly banget jadi sedikit penawat dikala kalut kangen rumah atau kangen istri.

Sampai saat ini saya hanya bisa bertahan, bertahan, belajar dan belajar. Keluar dari zona nyaman tak akan pernah mudah, kalau mudah pasti semua orang melakukannya. Something that doesn’t kill you make you stronger. Sekarang saya cuman harus banyak-banyak berdoa, berusaha lebih keras dari biasanya dan banyak-banyak ngobrol sama istri biar terus ketularan pikiran positifnya.

End.